SUPPLIER SAYURAN JAKARTA

Supplier Sayuran, Supplier Sayur, Supplier Sayuran Dan Buah, Supplier Sayuran Indonesia, Supplier Sayuran Jawa Barat, Supplier Sayuran Segar Di Jakarta, Cari Supplier Sayur, Supplier Buah Dan Sayur Indonesia, Supplier Sayur Bali, Supplier Sayur Bandung, Supplier Sayur Bekasi, Supplier Sayur Bogor, Supplier Sayur Buah, Supplier Sayur Buah Surabaya, Supplier Sayur Cikarang, Supplier Sayur Cipanas, Supplier Sayur Dan Buah, Supplier Sayur Dan Buah Di Bali, Supplier Sayur Dan Buah Di Surabaya, Supplier Sayur Di Bali, Supplier Sayur Di Bandung, Supplier Sayur Jabodetabek, Supplier Sayuran Bogor, Supplier Sayuran Online

Sayur Juara adalah supplier sayuran dan buah yang menjual berbagai sayuran dan buah yang dihasilkan dari kebun sendiri dan mitra petani di Bandung dan Bogor. Sayur Juara pun menawarkan sayuran dan buah berkualitas untuk kebutuhan hotel, restoran, kafe, pasar, supermarket, retail, dan rumah tangga.

Kami melayani pemesanan sayur dan buah baik dataran tinggi ataupun dataran rendah. Dan kami dapat menerapkan pola tanam di kebun untuk kebutuhan khusus sayuran dan buah Anda.

Kami siap menyuplai kebutuhan sayuran dan buah sampai ke tempat Anda. Dan kami siap bekerjasama dalam partai kecil ataupun partai besar.

Kami sangat memperhatikan kualitas sayur dan buah yang dibutuhkan oleh konsumen. Dengan kualitas terbaik, mutu sayuran dan buah kami, akan tetap terjaga hingga di tempat Anda, dengan garansi barang kembali jika tidak sesuai kebutuhan.

Sebagai supplier sayuran dan buah, Sayur Juara menerapkan sistem pembayaran sesuai kesepakatan bersama dengan konsumen. Dengan fleksibilitas yang kami miliki, transaksi pembayaran pun akan lebih mudah.

RIDLO ABDILLAH
MARKETING SAYUR JUARA
CV BRIDGE THE GAP INDONESIA
085719128202 (Whatsapp)
087765952600

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Semesta

Entah jawaban apa yang harus kumiliki untuk menanggapi pertanyaan hatimu. Tentang hari-hari yang kita lalui. Saat kau begitu hadir dalam kehidupanku. Yang awalnya sama sekali tak kuhiraukan. Kubilang, kau memang seperti bayang-bayang saat kita bertemu pertama kali. Sungguh, aku mungkin manusia yang datar atau tak mengenal dengan yang namanya suasana hati tentangmu.

Bintang gemintang, bulan, matahari, semua seisi langit terus mendesakku menggetarkan jiwa. Mereka bertubi-tubi menuntut diriku untuk menghiasinya dengan keindahan wajahku yang berseri. Seolah, wajahku, yang bisa kau bilang datar, membuat mereka datar-datar begitu saja. Mungkin, mereka tak bisa lagi disebut ‘hari’ yang ceria. Mereka murung, setengah hati untuk cerah, semuanya, bintang, bulan, matahari, langit, tak kulihat cerah seharusnya. Mereka menuntutku menjemput sang pujaan hati.

Aku hampir saja mengelak keinginan mereka, mementahkan semua yang ada. Dalam kamusku, semuanya hampir sirna, tak terkecuali duniaku, yang absurd selalu asik sendiri. Aku memang seperti memiliki dunia tersendiri, saat ku hidup nyata di tengah hiruk-pikuk peradaban manusia. Bayangkan, saat mereka, temanku, manusia-manusia di sekitar, tertawa, aku diam seolah tak ada yang terjadi. Aku hanya mengingat dan menyimpan celotehan mereka dalam memori. Aku, ya itu, datar, mungkin.

Duniaku lucu, padahal aku hanya bisa sekedar membuat orang lain tersenyum. Duniaku, ah sulit tuk kudefinisikan. Aku begitu sangat menggebu dengan perjalananku. Datar sekali, terfokus pada satu titik hingga terkesan abai pada bunga yang indah bermekaran di sepanjang jalan. Aku ini, ah selalu senang dengan dunianya sendiri. Sungguh, hatiku selalu senang. Tapi, ya begitu, bintang gemintang dan kawan-kawan menyimpulkan diriku tak begitu sesenang yang kukatakan. “Murung,” begitu kata mereka.

Kau tahu, mereka tidak tahu apa yang selalu kupikirkan, yang kukejar. Saat aku berhenti di suatu perjalanan saja, sejenak melihat bunga yang mekar, mereka terhenyak menyaksikan, dan berkomat-kamit untuk memetik bunga itu dan membawanya menjadi penghias hati. Ah, apalah mereka ini selalu ikut campur. Aku merasa selalu menjadi objek perhatian mereka. Aku-aku-aku selalu urung membawa bunga penghias hati ke rumahku, selalu begitu.

Tak terkecuali saat ku hinggap di taman bunga yang indah nan istimewa. Aku menemukan dirimu, yang pendiam, yang pemalu, yang manis kupandang, harum mewangi. Kau, satu bunga yang terindah di jagat raya. Kau, membuatku terhenti, dan hingga ku tak rela melangkah ke depan sendiri. Ku ingin mengajakmu, melangkah bersama-sama memainkan irama ke depan, ke dunia yang indah, menjalani perjalanan-melewati rintangan. Kau, kata mereka, adalah jawaban dari duniaku yang datar-datar itu.

Kau, yang membuat bintang gemintang, bulan, matahari, langit, dan siisi semesta ini menjadi siang dan malam yang penuh kasih. Kau, cintaku yang kutemui. Kau, sungguh penyemangat jiwa ini.

Kekasih Masa Depanmu
Ridlo Abdillah

26 Mei 2015

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Ramadhan dan Aroma Kopi

Tidak akan pernah habis untuk membicarakan tentang bulan yang unik, Ramadhan. Bagi saya, Ramadhan selalu unik untuk dijalani. Ia semacam kesenangan tersendiri bagi manusia-manusia yang memang sangat merindukannya sejak jauh-jauh hari. Tapi entah kenapa, Ramadhan kali ini, ada yang begitu berbeda bagi saya. Suasana, begitu mungkin yang saya rasakan menjelang hari ketiga puasa, sangat berbeda dengan tahun-tahun lalu.

Memang, toh siapa yang tahu tentang hal masa depan. Kita hanya bisa memprediksi atau memperhitungkan apa yang akan terjadi, tapi soal hasil, masa depan akan selalu ghaib untuk setiap insan. Seperti yang terjadi, di Ramadhan beberapa tahun lalu, terutama Ramadhan 1435 Hijriah. Suasana Ramadhan itu, drastis berubah dengan Ramadhan kali ini. Yah, di bulan yang suci ini, saya nyaris, tanpa harus berkutat dengan banyak liputan dan menulis berita di sebuah media massa dibanding Ramadhan lalu.

Dan untuk kali ini, saya sepertinya benar-benar tidak harus menjadi ujung tombak di dapur redaksi sebagai reporter. Saat ini, saya benar-benar harus menjadi ujung tombak diri saya untuk menjalani passion saya seusai berakhirnya masa studi saya di strata satu. Saya telah rampung mendapatkan gelar sarjana pendidikan, ceritanya begitu. Lalu, ide-ide yang lama tertampung dalam pikiran saya seolah membludak di bulan yang penuh berkah ini, bisa dikatakan semacam “ide gila’ yang harus saya tuangkan segera.

Di bulan di mana umat muslim menjalani puasa ini, saya dengan dua teman yang ‘aneh’, justru sedang mendirikan sebuah kedai kopi di daerah Bogor Barat, tepatnya Jalan Setu, Leuwiliang dekat gang masuk sebuah sekolah menengah pertama yang biasa disebut Nelbog. Ide membuat kedai kopi, memang tidak hadir begitu saja. Ini semacam akumulasi dari perjalanan dunia petualangan saya dengan teman-teman yang ‘aneh’ penikmat kopi. Terkhusus, saat saya berkunjung ke kedai kopi di daerah Bantul, Yogyakarta April lalu.

Perbedaan mencolok di bulan yang segala aktivitas mendapatkan nilai pahala berkali lipat, yaitu nafas saya yang ritmenya cukup terjaga. Kenapa? Karena saya tidak harus berkebut-kebut ria mengendarai motor liputan berita mengelilingi kota hujan, tanpa ngos-ngosan. Hari-hari ini, saya sedang fokus bagaimana kedai kopi yang terbuat dari gubuk atau apalah, saung mungkin, bisa menjadi tempat yang nyaman, unik bagi pengunjung nanti, untuk menikmati secangkir kopi panas.

Ramadhan saya seolah beraroma kopi arabika, robusta, atau liong bulan khas Bogor, sekarang. Tak hanya itu, semenjak lepasnya saya di dunia jurnalistik, waktu membaca saya kini semakin lama. Kenikmatan membaca Al Quran dan membaca buku-buku, sungguh sangat terasa, apalagi ditemani kopi (malam-malam). Begitulah, otak saya kini dipenuhi, bagaimana kedai kopi yang memiliki nama Saroeng Kopi ini bisa menjadi tempat idola kaum muda-mudi Bogor Barat untuk melewatkan sore dan malamnya yang paling nyaman.

Saroeng Kopi, begitu namanya, terinspirasi budaya manusia Indonesia yang terbiasa menggunakan sarung saat mereka santai atau saat beribadah. Semoga begitu juga, kedai kopi ini, bisa menjadi tempat santai dan tempat ibadah yang bernilai bagi Allah swt. Tempatnya berdiskusi kaum muda untuk menghasilkan masterpiece yang fenomenal seperti tradisinya ulama-ulama terdahulu saat kopi menjadi teman untuk berkarya.

Ridlo Abdillah
Tukang Kopi Yang Ingin Kuliah Lagi

20 Juni 2015

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Sederhana Jelang Lebaran

Terus terang saya terheran-heran selama bulan suci ini. Entah kenapa pastinya. Rasanya setiap kali dua panca indera mata dan telinga berfungsi, kegelisahan begitu menghampiri. Padahal yang saya pahami, selama bulan suci inilah, ketenangan seharusnya terasa nikmat.

Begini, saat terbangun dari tidur, telinga ini tak kuasa menerima gelombang-gelombang kebisingan, yang bagi saya itu semua tak bernada indah. Bising, gemuruh suara mesin, bahkan klakson yang oleh sang sopir mainkan, tanpa irama seenaknya mereka lantunkan.  “Ini dini hari,” begitu yang saya katakan. Terus terang lagi, rasanya hal itu membuat ketenangan, beberapa waktu saat saya bangun tidur, terasa kurang nikmat, gelisah.

Ada yang lebih dan paling membuat saya terheran-heran. Kali ini, mata saya yang jelalatan kemana-mana, di siang hari, melihat sekitar, tak karuan entah objek apa yang bergerak. Semua bergerak cepat, tak henti, menerobos sana-sini, terkadang tak peduli apalah yang terjadi. Yah, saat saya berada di jalan  raya, kegelisahan ternyata menghampiri lagi, untuk hal ini, mengharuskan saya menghela nafas yang cukup panjang, hah.

Kendaraan di mana-mana, mobil, motor, truk, bis, dan lainnya merayap-mengular seolah malas. Ada celah dikit, seperti yang saya ungkapkan, objek-objek itu bak banteng yang menyeruduk tanpa arah, kebut. Mereka begitu sibuk.

Fenomena ini mungkin sudah dianggap biasa oleh masyarakat, apalagi menjelang lebaran. Tapi tetap saja, bagi saya, semakin mendekati hari kemenangan, seharusnya semakin tenang hati-hati manusia, itu yang saya harapkan. Tampaknya tak begitu. Istilah ‘itikaf’ pun sepertinya tak terbesitkan.

Jelas, ketenangan tak mungkin diraih dalam keadaan yang serba sibuk seperti yang saya dengar dan lihat itu. Lalu, kemana makna ketenangan di penghujung hari puasa ini? Semua orang berbondong-bondong merangsek ke jalanan.

Memang, awalnya mereka tak berniat untuk berhura-hura terjebak dalam kejengahan kerumunan, kemacetan yang kerap terjadi. Namun, semua ini, di mata saya, seolah menjadi ‘euphoria’ tersendiri yang mungkin juga membuat mereka yang terlibat di dalamnya, lupa akan esensi berdasarkan apa mereka sebenarnya harus berbuat seperti itu. Kalau lah tidak ada lebaran, hari besarnya umat islam, hari orang berlomba mengejar pahala solat Idul Fitri.

Yang saya pahami kembali, kalau lah bulan ini adalah bukan bulan suci ataupun bulan puasa, yang saya katakan  ‘euphoria’ itu jelas tak mungkin terjadi. Bulan suci adalah hajat besar bagi mereka yang rindu mendekatkan dirinya kepada sang pencipta. Entah, ini pertanyaan yang selalu muncul lagi dalam benak saya, apakah hanya sekedar mendekatkan diri kepada keluarga, kepada orang tercinta, hingga kita abai pada kewajiban kita? Menempuh jarak yang jauh, berjam-jam, berhari-hari, hingga lupa hari, hari apa hari ini. Teman, kita masih berada di bulan suci.

Lihat, ‘euphoria’ itu! Istiah ‘puasa’ tampaknya sudah tidak berlaku. Aturan ‘permainan puasa’ terlihat banyak tidak diindahkan. Tak semua, memang. Namun, kejengahan yang saya maksud, seolah menjadi alasan baginya untuk melawan aturan ‘permainan’ itu. Makan bebas, minum bebas, nafsu bergelora, di siang hari, tak tertahankan. Ingin meraih kebahagiaan, namun mengabaikan kewajiban.

Akhirnya, sedikit merenung lagi, di sinilah sebenarnya ujian yang sesungguhnya bagi mereka yang ingin meraih kemenangan hakiki. Di beberapa hari jelang lebaran, ‘godaan’ semakin meningkat. Di sini, kita harus melewatinya.

Ini kesimpulan saya, seusai mengobrol dengan sang kiai dari Kota Hujan.

Utamakan ‘kesederhanaan’ dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, bersyukur.

Sederhana berkehidupan, sesuai ajaranNya. Saat sederhana kita tak akan tergerus oleh keinginan yang tak terbatas itu.

Mari sederhana!

Ridlo Abdillah

Juli 2014

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Hujan Lagi

Pagi ini aku bangun lebih awal, teringat dengan tugasku mengajar di sekolah nun jauh di pojok Bogor sana. Badan menggigil, sebab, setelah adzan shubuh, hujan ternyata masih mengguyur sepanjang malam, aku saja tak kuasa, dingin menghampiri, sarung penghangat setengah badan pun tak kuasa melawannya, ah, malas mandi aku, pagi tadi. Aku coba menantang, namun sebetulnya tubuhku tak siap menghadang, ya, tetap saja dingin seolah menampar, “byar”, “gyur” air membasuhi diriku, ah, dingin, mandi terjadi. Secepat kilat kusudahi mandi, ku bergegas mencari pengering, ku berpakaian rapi lagi, lalu, ku khususkan waktu untuk ‘berdoa’ padaNya.

hujan di pagi hari, kucoba melihat dari kejauhan, tak ada yang dapat terlihat, selain putih kabut dan hujan menutupi gunung itu, gunung dambaan orang disekitarnya, gunung di mana sekolah tempatku berlatih untuk mengasah kemampuan pedagogi, hujan, berangkat atau tidak, itu yang terpikir setelah kulihat putih kabut-hujan sedang merundung sekitarku.

Akhirnya, ku berangkat dengan jas hujan bagian atasnya saja, sambil kukendarai sepeda motor beat punya kakakku, Di jalanan, aku lihat, orang-orang berebut jalan, melintas sana-sini, kebut seperti dikejar-kejar oleh entah apalah itu, mungkin mereka takut dengan air, sama seperti aku, atau memang takut dengan bos-bosnya yang sudah menunggu di kantornya, itu pun kalau memang bosnya sudah tiba. Aku pun mengebut, blash, tapi, dalam kebutku, aku teringat, oh ya, temanku, temanku yang di sana di ibu kota, sedang apa mereka, apa yang terjadi di sana, aku teringat itu sambil mengebut, lalu, tibalah aku di sekolah. 15 menit terlambat dari jam seharusnya, aku langsung saja menuju kelas, salam, good morning every body, “morning” jawab seisi kelas, dugaanku salah, kelas ternyata penuh dengan siswa dalam kondisi cuaca hujan, salut dariku untuk mereka.

Aku sapa, aku hangatkan kelas, aku mulai intermezo, aku bangkitkan kelas, aku mainkan kelas, aku teringat kembali pada temanku di jakarta sana, aku katakan pada siswaku, bahwa beberapa hari ini kota kita menunjukan jati dirinya, Bogor kota hujan, ini selazimnya kota kita disebut. rumah kita diguyur hujan, sekolah kita diguyur hujan, teduh, asri kota kita, dan semua ini nyaman bagi kita untuk belajar, dingin, membuat proses berpikir kita pun menjadi lebih jernih, itu yang kusampaikan pada 30 lebih siswa yang ada. aku sampaikan juga, bahwa, di akhir hampir selesainya jam pelajaran, aku punya teman, di sana, di kota seribu macam problema, tempat orang beretorika semaunya, seolah dampak hujan yang ada dianggap biasa, di ketika para pembesar cuma bilang, “ini cuma soal waktu”, ya waktu telah membabatnya menjadi tenggelam. mari kita berpikir ulang, aku mengajak siswaku. Jangan membuang sampah sembarangan, itu pesan emas untuk mereka, siswaku.

Ridlo Abdillah

Januari 2014

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pesan Ayah Waktu Itu

Beberapa hari ini aku teringat kalimat-kalimat yang pernah disampaikan oleh ayahku enam tahun yang lalu, yah, enam tahun yang lalu, ketika aku baru saja tak lama lulus dari sekolah menengah atas. Sebagai orang baru dalam dunia nyata ketika itu, aku dihadapkan pada beberapa pilihan hidup yang benar-benar harus aku pilih. Jelas orang baru, begitulah orang menyebutnya kepada mereka yang baru lulus sekolah menengah atas, karena pada dasarnya mereka baru saja masuk gerbang dunia yang nyata-keras akan tantangan yang siap menghadang, mereka bukan sedang memasuki masa akhir, namun sebaliknya itu semua adalah awal, awal kehidupan bagi anak muda. Pesan ayahku, pesan untuk tak ragu melangkah; menggapai sebuah mimpi untuk menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya, bermanfaat bagi semesta.

Bagi kebanyakan orang, pasca lulus sekolah menengah atas adalah momok yang sangat penting bagi dirinya. Sebuah ancang-ancang masa depan yang sudah dibuat sejak masa kecil lewat mimpi atau cita-citanya menjadi sebuah pilihan yang begitu berarti, karena mereka memasuki masa apakah benar, mimpi atau cita-cita yang dulu mereka idam-idamkan itu akan diperjuangkan olehnya, atau mereka harus berpikir ulang kembali, realistis dengan tuntutan yang ada, mengikuti arus kebanyakan, membuang jauh-jauh cita-cita hasil imaji karya sang manusia.

Seperti itu mungkin kondisi yang ada, kuliah sesuai jurusan yang dinginkan atau kuliah pada jurusan yang memang pasar membutuhkannya, entahlah, kuliahan macam apa itu, kuliah di kampus negeri, swasta, sekolah kedinasan dan yang lainnya. Atau, sudahlah, kerja saja, buang sana kursi-meja kelas yang ada, bosan dengan kegiatan belajar-mengajar sekolah yang menjadi sebuah rutinitas, padahal bekerja bisa tidak jauh beda dengan yang terjadi di sekolah, mungkin seperti itu pula yang ada di pikiran anak muda yang baru lulus sekolah.

Lalu, bagaimana dengan diriku? Benar, sama sekali aku tidak tertarik untuk masuk ke dunia perkuliahan konvensional yang ada dalam sistem pendidikan di Indonesia ini awalnya, karena memang dulu aku lebih tertarik pada sebuah konsep yang singkat dan jelas dinamis aktivitas dan masa depannya, dan akhirnya itu pun terjadi, aku ternyata lebih tertarik pada konsep yang ditawarkan oleh program kementrian pertahanan lewat Tentara Nasional Indonesia. Terus terang saja, aku begitu tak bosan untuk menantangnya untuk mengikuti tes seleksi masuk TNI. Tujuh kali kucoba, dua angkatan, laut dan darat pernah kutantang. Dimulai seleksi calon kadet Akademi Angkatan Laut (Psikotes 2/2008), calon bintara TNI AD (Pantukhir Daerah/2008), calon tamtama Angkatan Laut (kesehatan 1/2009), calon bintara Angkatan Laut (Pantukhir Pusat/2009), calon taruna Akademi Militer (Pantukhir Daerah/2010), calon taruna Akademi Militer (kesehatan 1/2011), calon bintara Angkatan laut (kesehatan2/2011), yah tujuh kali aku tak bosan mencobanya.

Pertanyaannya mengapa sebegitu ngototnya untuk mencoba? Karena yang kupahami, selama tuhan memberikan kita kesempatan,mengapa tak kita maksimalkan kesempatan itu. Dan kujujur kembali, memang hampir saja aku menjadi serdadu berloreng sebagaimana mestinya. Hampir satu bulan juga, aku ditempa dalam program seleksi tingkat pusat calon bintara Angkatan Laut di malang PANTUKHIR namanya, masa seorang calon sudah lulus dalam tes segala macam, dimulai kesehatan, psikotes, wawancara, jasmani dan lain-lain namun masih dalam pertimbangan apakah seseorang itu layak atau tidak menjadi seorang tentara dari segi keseluruhan, ya, saat itu tahun 2009. Benar, ukuran baju pun sudah diukur untuk keperluan pendidikan militer nanti di Juanda, Surabaya, hingga diukurlah seluruh bagian tubuhku, dimulai dari kepala sampai ukuran kaki. Hampir satu bulan program seleksi menggunakan konsep kehidupan militer, semua itu kujalani untuk bersaing dengan anak muda pilihan se-Indonesia, dan hampir sekitar satu bulan usai, aku pun pulang, ke rumah ke kota hujan lagi.

Kawan, sekarang aku masih tak jauh dari rumah. Aku masih dekat dengan ayah dan ibuku. Aku masih dekat dengan kakak-adikku. Mereka begitu indah di rumah. Sekarang juga, kawan, aku adalah seorang mahasiswa yang sama sekali, dulu, enam tahun yang lalu,tak terpikirkan olehku. Tak perlu jauh, ke luar kota apalagi ke luar negeri, kampusku, sama sekali juga tidak begitu jauh, tempatku berkuliah-ria. Kampusku tidak jauh dari rumah, kampusku begitu dekat dengan sekolahku, sekolah dimana ketika itu aku masih belajar membaca dan menghitung, kampusku tak jauh dari sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang dulu pernah kuenyam. Kuambil jurusan kuliah yang sama sekali juga tak terbayang ketika ku masih di bangku sekolah menengah atas, Bahasa Inggris, itu jurusan kuliahku kawan, bila ingin bercakap-cakap mungkin aku bisa melayanimu, tentu dalam bahasa Inggris.

Dunia begitu misteri, dunia begitu imaji, kita hanya berusaha sampai titik maksimal. Kita berhak berimajinasi, berusaha, dan terus pantang menyerah, sampai benar-benar kesempatan itu tak ada dan benar-benar kita manfaatkan. Seperti pesan ayahku waktu itu, terus saja melangkah, jangan kau ragu, kau masih muda, teruslah berjuang, paling tidak di tahun 2014 nanti kau memiliki sebuah jalan yang siap kau tekuni,terus cari dan berlari. Aku sedang berproses. Semua itu teringat, pesan ayahku yang sangat menantang dan misteri. Karena memang, jawaban hanya Dia yang Mahatahu. Tatap ke depan. Kawan, ternyata mimpiku kini tidak cuma satu, banyak sekali, banyak yang ingin kugapai lagi. Mimpi-mimpilah yang menghidupkan hari-hariku. Kawan, mari terus bermimpi!

Ridlo Abdillah

Januari 2014

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Keinginan

Ini soal keinginan. Sejak kecil aku begitu memiliki banyak keinginan. Keinginan menjadi seorang prajurit seperti paman saya di Surabaya sana. Keinginan menjadi pemain sepak bola seperti shevchenko pemain AC Milan saat itu. Keinginan menjadi seorang penyanyi fenomenal mengenang seperti Iwan Fals, karena memang sejak kecil aku terbiasa dengan lagu-lagunya, wajar saja, kakakku memiliki banyak kasetnya.

Dan, lagi-lagi keinginan itu selalu bermunculan sepanjang ku beranjak dewasa dan selalu berbeda, dari waktu ke waktu. Sejak SMP, saya terlalu gagap pada tekhnologi Informasi, khususnya dalam mengoprasikan komputer. Komputer memang menjadi barang antik dan langka bagiku saat SMP, memegang mouse-nya saja tidak pernah, di masa SMP-lah aku terbiasa dengan komputer, dan keinginan pun muncul, aku ingin menjadi ahli komputer, sekarang mungkin orang seperti itu bisa disebut programmer atau teknisi komputer, apa-lah. Keinginan terus bermunculan sampai sekarang, dan selalu berbeda, itulah sesuatu yang dimiliki oleh penghuni bumi ini, manusia, selalu memiliki banyak macam keinginan.

SMA, ada keinginan lagi yang muncul, keinginan itu adalah menjadi seorang guru olah raga, yah, paling tidak seperti guru olah ragaku di SMA, dia energik dan selalu sehat, kerjanya menghabiskan waktu di lapangan dengan siswa-siswa, entah bola atau apa, menjadi alat peraganya, yang penting ketika berolah raga, berkeringat.

Di masa ini, seolah-olah aku dipaksa harus pasti untuk memastikan keinginan yang ku miliki, keinginan ini bisa disebut juga cita-cita, atau mau jadi apa nanti aku setelah lulus SMA. Aku jawab saja dengan lantang pada hatiku, aku ingin menjadi seorang Kadet Akademi Angkatan Laut, calon prajurit yang pernah aku tonton di TVRI saat itu, sepertinya menarik, gagah, berani, bersih, terkesan berwibawa, dan kutahu kampusnya ada di pojok timur Jawa sana, Surabaya, kota yang baru satu kali semasa hidup aku pernah kunjung.

Keinginan ini seakan dejavu masa kecilku, bahwa aku ingin menjadi prajurit. Di masa usia akhir belasan ini juga, aku sempat memiliki keinginan yang cukup absurd pada saat itu, keinginan punya pacar, ah, fakta, atau sejarah membuktikan aku tidak terlalu sukses dalam hal ini, banyak sekali alasannya, ini harus ada di bab lain, tapi yang utama, aku terlalu sibuk dengan aktivitas ekstrakulikulerku.

Dan, kali ini di masa pasca SMA atau masa kuliahku, macam-macam keinginan yang ku miliki, sebut saja, pasti itu adalah keinginanku juga. Keinginan menjadi seorang prajurit, aku usahakan, tujuh kali kucoba mendaftar menjadi seorang prajurit, dan aku paling tidak, pernah merasakan kehidupan militer selama satu bulan dengan kulturnya, aku selesai dengan keinginan ini, tak mengapa. Keinginan menjadi seorang guru, yah, satu tahun penuh aku pun pernah menjadi seorang guru seperti dalam lagunya Iwan Fals “Oemar Bakrie”, mengajar anak SD kelas lima dengan senang gembira.

Keinginan menjadi seorang pengusaha, mungkin aku bisa menjadi orang terkaya dan dermawan di sekitar kotaku, kalau kenginan ini terwujud. Inilah keinginan yang paling membuat aku kreatif dalam hidup, apa pun harus menjadi peluang usaha, keinginan ini juga yang telah membuat aku selalu berpikir positif, kalau kita berusaha pasti kita mendapatkan hasilnya, sekecil apa pun. Dan yang paling keren adalah keinginan menjadi seorang profesor yang mengajar di sebuah kampus, kalau bisa sekaligus menjadi seorang rektornya juga, luar biasa. Masih ada, keinginan menjadi seorang diplomat, entahlah bagaimana caranya, yang pasti keinginan ini sempat juga masuk dalam pikiran aku.

Dan di masa inilah, anak muda sebetulnya diuji kemampuan atau kapasitasnya dalam bertahan hidup. Ini bukan soal bagaimana dia bisa mencari makan, minum dan lain-lain, tapi ini juga menyangkut apakah seorang anak muda ini sudah mengerti kemana arah tujuan hidupnya, untuk apa dia hidup, apa sebenarnya yang harus dilakukan, hal-hal inilah yang sangat menyita konsentrasiku. Karena, aku begitu yakin, soal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, aku harus memikirkannya dengan serius. Soal aku menjadi apa, itu mungkin bisa menjadi nomor sekian, tapi soal apakah aku akan bermanfaat di dunia ini atau tidak, ini masalah yang paling utama. Aku terus berusaha untuk bertarung dengannya mencari jawabannya, di mana saja. Di kampus, di masjid, di pesantren, di toko buku, di seminar, di tempat-tempat yang baik, karena ku percaya di sana aku bisa menemukan jawaban pertanyaan hatiku.

Dari semua keinginan yang aku punya, sudah kuurutkan juga rengkingnya, mana yang menjadi prioritas dan mana yang bukan. Dengan itulah, caraku untuk mengatur langkahku agar tidak membentang ke mana-mana. Jelasnya kawan, aku masih kuliah di jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Soal nanti aku jadi apa tidak jadi soal. Yang masih aku fokuskan adalah apa yang sudah aku dapatkan harus benar-benar bermanfaat. Dan terakhir, ini keinginan yang pasti dimiliki oleh setiap orang, dan selalu terngiang-ngiang di hari-harinya apalagi untuk anak muda, keinginan “menikah”.

Keinginan menikah kawan, ini bukan seperti keinginan yang pernah aku punya di masa SMA, keinginan punya pacar, beda sekali. Keinginan menikah adalah keinginan yang terpendam sedalam-dalamnya oleh setiap orang, namun ia begitu hati-hati, jeli, tidak sembarang, tidak buru-buru, dan sabar dalam mencari calon pasangan hidupnya, jelas keinginan ini menjadi ajang pencarian calon suami dan istri. Maaf kawan, aku juga terpikirkan soal ini. Tapi aku juga, ya begitu, begitu hati-hati, maaf, terus ku perhatikan siapa yang sungguh-sungguh tepat bisa menjadi istri aku.

Sedikit pengalaman dalam hal kedekatan aku dengan kaum hawa, membuatku semakin belajar dalam memilih calon pasangan sebetulnya. Ini keinginan yang menurutku keinginan terabsurd. Keinginan ini begitu misteri, sama seperti keinginan yang sekelas lainnya. Kalau ditanya, kapan keinginan ini ingin aku wujudkan, jawabannya, bisa sekarang, besok, setelah lulus S1, bahkan setelah lulus S2, aku tidak begitu kuasa dalam hal ini. Yang ku usahakan adalah sebaik-baiknya aku memperbaiki diri. Itu saja. Dan kubiliang kawan, buatlah keinginan mu pasti, tidak plin-plan, memang banyak keinginan yang aku punya, namun aku memiliki prioritas kawan. Kita harus memilih, sekalipun keindahan keinginan yang lain bisa hilang. Tapi percayalah, keinginan yang kita wujudkan akan membayar semuanya. Keinginan yang terakhir itu sulit untuk kuurutkan dalam rengking, biarlah Sang Maha Pemilik Cinta yang mengaturnya. Terus belajar. Buktikan!

Saya juga sedang mencoba kawan, hehe

Ridlo Abdillah

Februari 2014

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kota Sejuta Angkot

Namaku Abdi. Aku dilahirkan di kota hujan, kotanya sejuta angkot. Aku senang berenang, bermain sepak bola, dan membaca buku, buku apa saja yang penting seru. Aku kuliah tidak jauh dari rumahku, sepuluh menit jalan kaki, sampai. Kalau naik mobil atau motor bisa setengah jam, baru sampai. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku. Rumahku beralamat di Kampung Sawah Kulon. Tapi, kali ini di kampungku, sebenarnya, sama sekali sudah tidak ada sawah, tak seperti dulu ketika ku kecil. Rumahku dekat pasar, sudah pasti kampusku juga tidak jauh dari pasar, atau bisa dikatakan di tengah-tengah kerumunan pasar. Aku benci kemacetan dan kekumuhan di sekitar rumah dan kampusku. Oya, Ayahku seorang pelukis dan ibuku seorang guru mengaji Al Qur’an. Mereka manusia spesial dalam hidupku. Dua puluh tahun lebih aku hidup dengan mereka. Dan aku besar, dididik oleh lingkungan rumah. Aku cinta mereka dan aku juga cinta kampungku yang asri tanpa pepohonan yang hijau.

Kawan, kali ini aku kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, di kampusku yang posisinya di pertengahan kampung dan pasar yang kumuh. Tapi, jangan dianggap remeh kawan, prestasi yang sudah diukir kampusku begitu luar biasa. Bisa dicoba, mengobrol saja denganku mahasiswanya, dalam bahasa Inggris, pasti cas-cis-cus, mungkin, hehe. Kampusku ini adalah satu-satunya kampus yang menyelenggarakan kuliah dengan banyak jurusan-jurusannya? Yah, cuma tiga jurusan kawan, dan salah satunya pendidikan Bahasa Inggris, jurusan favoritku. Memang, kampusku itu belum menjadi sebuah universitas, masih sekolah tinggi. Tapi analisisku kawan, kampus ini tidak lama akan menjadi universitas satu-satunya terfavorit di kota tegar beriman, kota kalau nggak macet nggak asik. Yah, itu kawan prestasi luar biasanya, kampusku telah dan dapat bertahan di keruwetan macetnya kota hujan. Bayangkan saja, mahasiswanya harus selalu mencari cara setiap hari agar tepat waktu datang kuliah. Caranya bisa dengan kebut-kebutan, salip-kanan salip-kiri, sambil berkeluh kesah kepada pak supir angkot dan bergumam “jalan raya bukan tempat parkir pak supir.” Dan kampusku bisa beradaptasi dengan kondisi seperti ini.

Cita-citaku itu ingin mejadi peneliti, peneliti apa saja, mungkin peneliti yang seperti di LIPI. Tapi, semenjak tiga tahun setengah aku kuliah di kampusku, aku semakin tidak tertarik untuk menjadi peneliti pendidikan yang sesuai dengan jurusanku. Sepertinya aku lebih tertarik menjadi peneliti transportasi, atau apalah disebutnya pengamat atau pengkritik tentang transportasi di kota sejuta angkot ini. Lebih jelasnya, aku ingin selalu mengamati kemacetan atau kesemrawutan lalu lintas di kota tercintaku ini. Sebetulnya pak supir angkot yang salah atau siapa? Atau jangan-jangan di setiap samping jalan raya, ada tukang bakso berjualan, bapak supir angkot itu selalu sengaja mampir makan bakso, atau jangan-jangan kalau ada tukang buah rambutan, bapak supir angkot itu suka nyicipin dulu rasa buah rambutannya sebelum ia beli, lalu enak memakirkan mobilnya di tengah jalan raya tanpa merasa bersalah. Oh, atau jangan-jangan tukang dagangnya yang berjualan di tengah jalan? Ah, masa bisa sih? Atau lagi, Bapak-bapak komandan kita yang keasikkan nongkrong di warung kopi, sehingga hajat umat pun terabaikan tak terkendali? Atau lagi-lagi, kita begitu individualis tidak peduli orang lain mau apa, yang penting sampai ke tempat tujuan, terserah orang lain mau terbang-jatuh-berputar-putar-tan-tin-tun atau bagaimanalah? Mungkin seperti ini, kasus-kasus yang ingin aku teliti dan amati, yang mungkin menurut aku menjadi permasalahan utama kemacetan di kota tersayang itu.

Begini saja kawan, doakan saja aku, biar nanti bisa menjadi seorang peneliti atau pengamatlah yang bisa menganalis permasalahan kemacetan di kota hujan tersayangku ini dan mendapatkan solusinya. Biar nanti juga, aku bisa menghadap ke pak Bupati memberikan rekomendasi yang jitu untuk mengatasi permasalahan klasik ini. Sepertinya juga, pak Bupati tidak punya penasehat ahli dalam bidang ini sepengetahuanku. Mudah-mudahan proposal solusiku bisa diterima oleh bapak Bupati nanti. Karena, lagi-lagi, aku selalu teringat kepada temanku kawan. Lagi-lagi juga, kawanku ini selalu terlambat masuk kuliah, dan alasannya klasik juga, “kenapa terlambat?” ujar dosen, dan dengan pastinya temanku juga akan menjawab, “macet bu, pak,” jelaslah temanku tidak diperbolehkan masuk kuliah.

Doakan saja kawan, mudah-mudahan, kotaku juga terbebas dari macet dalam waktu dekat ini. Dan aku juga menghimbau kepada teman-temanku yang sekota, mari indahkan kota kita, kota yang terbebas dari kemacetan, kekumuhan akibat atribut-atribut yang merusak keindahan kota, dan kesemrawutan aktivitias sosial-ekonomi yang ada. Oya, kawan, maaf, aku kasih tahu juga, sekarang juga saya sembunyi-sembunyi punya mimpi, bahwa aku juga ingin menjadi peneliti atau pengamat perpolitikan di kotaku ini, kotanya tegar beriman, kotanya sejuta angkot. Karena aku juga tidak rela kawan, kalau kotaku digadaikan oleh mereka yang sedang saling tawar-menawar dengan warga kotaku, mereka yang nama-namanya ada dalam DCT. Benar aku sangat tidak rela, dan aku akan selalu berbuat semaksimal mungkin, yang terbaik, untuk kotaku. Aku juga punya hak kawan, sebagai warga kota hujan, aku punya hak untuk mengawasi mereka kawan, mudah-mudahan mereka juga mengetahui apa yang sedang ku keluhkan kali ini. Yah, kemacetan yang tadi kawan, mudah-mudahan mereka mengerti. Amin.

Ridlo Abdillah

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kemacetan di Tiga Kota Besar

Sebulan ke belakang, ada hal menarik yang saya alami di tiga kota besar sekaligus yakni soal kemacetan. Tiga kota besar itu adalah Bogor, Bandung dan Jakarta. Hal ini mungkin sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Di kota yang penduduknya sudah padat.

Kemacetan, bagi saya cara saya belajar memerhatikan kehidupan sosial masyarakat baik di pagi hari, siang, maupun malam . Dari fenomena kemacetan lah di mana kita akan mengerti betapa manusia ingin mempertahankan kehidupannya. Tapi yang paling mengernyitkan dahi saya yaitu apakah dalam mengendarai kendaraan baik motor atau mobil, masyarakat harus seperti banteng yang menyeruduk?

Setelah saya telaah, dan dengan pengalaman saya sendiri, fenomena kemacetan itu memperlihatkan bahwa, betapa masyarakat sekarang ini bisa dikatakan sangat individualis. Perhatikan saja, para pengendara tidak peduli dengan pengendara lain di samping kanan-kirinya.

Entah posisinya saat mengendarai kendaraan bisa menyebabkan pengendara lain kecelakaan ataupun tidak. Menurut saya para pengendara itu hanya focus pada satu tujuan yaitu mereka harus segera tiba ke tempat tujuannya.

Terlebih kepada para penyeberang, dari tiga kota besar itu, bisa saya simpulkan para pengendara sama sekali tidak ingin mengalah untuk memberikan kesempatan kepada penyeberang untuk menyeberang. Mereka tetap menyerobot, seolah jalan raya itu miliknya.

Sepertinya, suara raungan knalpot kendaraan di setiap lampu merah memberikan pelajaran bahwa masyarakat era sekarang perlu belajar bersabar. Tampaknya sulit. Atau mungkin fenomena, pengendara yang berbaris di lampu merah seolah pebalap di garis start itu sudah hilang rasa ketenangannya.

Bayangkan saja, belum saja lampu kuning menyala, banyak pengendara motor, tidak di Bogor, Bandung, atau Jakarta mencuri start melaju seenaknya. Dan polisi pun terkadang tak bisa bertindak. Saat lampu hijau menyala, ‘ngeng’ sekumpulan kendaraan melaju seperti geng motor atau klub mobil kompoi keliling kota. Itu bukan kompoi, tapi kehidupan nyata yang terjadi di jam-jam tertentu, saat jam berangkat kerja, saat jam pulang kerja utamanya.

Bedanya fenomena kemacetan dari tiga kota besar itu, menurut saya, hanya pada jumlah. Di Jakarta kendaraan pertama lebih banyak, wajar di Ibu Kota negara. Lalu kedua untuk Bandung Ibu Kotanya provinsi Jawa Barat. Dan ketiga yaitu Kota Bogor, Kota Hujan.

Ada hal yang menarik lagi dari tiga kota besar itu yaitu soal cuaca. Sebulan ke belakang ini memang saya sempat berada di ketiga kota besar itu. Jelas saya merasakan cuaca apa yang terjadi. Bogor memang dikenal sebagai kota hujan, banyak gunungnya, begitupun hutannya. Tapi tetap saja, yang saya rasakan, Bogor Kota Hujan yang panas. Terutama di wilayah metropolitan yang selalu terjadi kemacetan.

Bandung, Kota Kembang ini selalu menjadi kota favorit untuk berwisata utamanya bagi masyarakat ibu kota. Baik wisata kuliner, wisata alam dan lainnya.  Cuaca di Kota Kembang ini sangat dingin di malam hari. Lalu dingin di pagi hari, dan tak lama kemudian sekitar pukul 10:00 Bandung akan terasa panas, utamanya di wilayah metropolitan.

Bagiamana dengan Jakarta Ibu Kota, favorit warga negara mencari kehidupan. Pagi, siang, dan malam, dengan pasti saya katakan panas. Ibu Kota ini sangat terasa dingin ketika kita berada di ruangan yang ber-AC. Begitulah cuaca dari ketiga kota besar itu.

Saya asli Bogor, sebulan ke belakang, saya lebih lama tinggal di Bandung untuk mengikuti seleksi menjadi reporter Republika. Dan kali ini saya sedang di Jakarta. Soal kemacetan tadi yang mempengaruhi cara berkendara pengendara yang bisa saya katakan selalu ngebut kemungkinan dipengaruhi oleh factor cuaca.

Panaslah yang membuat para pengendara tidak betah di jalan raya hingga mereka ingin segera tiba di tempat tujuannya. Hal ini terutama terjadi pada pengendara motor. Untuk pengendara mobil yang ber-AC yang selalu mengebut secara tegas memang ia tidak terlalu sabar dalam mengendarainya.  Atau memang kata individualis dan egois di era sekarang ini sudah sangat melekat pada masyarakat.

Kesimpulan yang bisa didapat, dengan melihat kejadian di lapangan seperti banyaknya kecelakaan yaitu dalam mengendarai kita perlu berhati-hati. Terlebih, kita harus memastikan saat kita berkendara tidak membahayakan orang lain. Dan mengatur ritme kecepatan dimana kita harus mengebut atau tidak.

Ridlo Abdillah

2014

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Manifestasi Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual

Segala puji mari kita panjatkan kehadirat Allah swt. yang senantiasa memberikan secercah cahayanya di hari-hari yang penuh dengan keindahan, serta nikmat iman dan islam insyaAllah selalu melekat dengan iringan nafas kita. Sholawat serta salam marilah kita curahkan kepada the best man in the world  sang inspirator sepanjang masa, nabi penutup untuk nabi terdahulunya  ialah nabi Muhammad Saw.  Yang insyaAllah suri tauladannya akan selalu menjadi contoh bagi kita semua hingga membuat raga ini lebih semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Mimpi adalah sebuah alam imajinasi setiap manusia yang mendorongnya untuk mengubah keadaan diri menjadi lebih progresif dalam makna sebuah transformasi pergerakan menuju perubahan yang nyata. Roda-roda kehidupan yang penuh dengan warnanya mengharuskan kita untuk mempelajarinya secara masif untuk mengetahui mimpi apa sebenarnya yang sedang kita kejar .

Di era kemajuan teknologi, budaya,  ekonomi, sosial dan politik yang semakin sulit dibendung, kini pendidikan menjadi sebuah kewajiban yang tidak harus ditawar lagi bagi setiap orang untuk  menyeimbangkan arus pergerakannya hingga diri kita siap menghadapi segala perkembangan yang ada.

Mahasiswa, bukan sebuah terminologi dan predikat biasa yang dilekatkan terhadap setiap orang yang sedang menduduki bangku perkuliahan itu, sebuah predikat yang memiliki nilai lebih dan tantangan tersendiri, sebuah tantangan menjadi seorang akademisi yang mengharuskan dirinya menjadi manusia yang anggun bermoral dan intelek hingga terdidik, sehingga setiap mahasiswa dapat menempatkan dirinya sebaik mungkin .

Fase perubahan pola berpikir, disinilah tempatnya bagi setiap mahasiswa  dalam atmosfer  sebuah dunia akademik yang harus diejawantahkan oleh segenap mahasiswa untuk berpikir lebih peka, kritis, rasional dan ilmiah. Pola yang tidak dapat ditawar yang akan menjadikan mahasiswa lebih memahami akan makna dari predikatnya dan Kehidupan yang berbeda dari sebelumnya dalam ranah cara berpikir.

Melalui Masa Ta’aruf (MASTA) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) STKIP Muhammadiyah Bogor 2012 ini dapat dijadikan momentum bagi segenap mahasiswa untuk melihat sebuah realita yang masih terlihat samar, sehingga seharusnya membuat mahasiswa ingin lebih mengetahui sebuah realita apa yang ada. MASTA IMM,  ajang pengenalan sebuah ikatan yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah kepada civitas mahasiswa, ikatan yang memiliki tujuan mulia untuk mengantarkan segenap mahasiswa menjadi akademisi yang religius, intelek dan humanis, hingga perwujudan atau manifestasi anggun dalam moral, unggul dalam intelektual itu tercapai.

Dalam rangka mewujudkan niat yang mulia ini sesuai dengan istilah Masa Ta’aruf tersebut, maka ta’aruf atau masa perkenalan  bukan hanya sekedar masa perkenalan antara mahasiswa dengan ikatan, namun dapat juga dijadikan masa pengenalan potensi diri untuk digali lebih dalam lagi. Dengan Materi Al Islam “ Mahasiswa Islam Pelopor Dakwah Kampus” yang disampaikan oleh Bapak Endang Mintarja, MA. Dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Ke-IMMan “IMM Wadah Mahasiswa Religius, Intelek dan Humanis”  Yang dipaparkan Oleh Immawan Dimas Ridhwan Hakim mantan Ketua umum cabang IMM ciputat semoga dapat memberikan pencerahan bagi segenap mahasiswa baru STKIP Muhammadiyah Bogor.

Potensi-potensi dari setiap mahasiswa adalah kekuatan besar bagi mahasiswa untuk mengekspresikan dirinya tampil lebih berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Sebuah potensi luar biasa yang tersembunyi di dalam setiap diri mahasiswa. Disinilah masa pengenalan diri itu bisa diwujudkan hanya dengan merubah pola berpikir yang lebih progresif. Dan keaktifan setiap mahasiswa akan berdampak dalam pencarian jati dirinya, hingga semua hal dasyat yang tak terduga itu dapat dikorelasikan dengan mimpi-mimpi setiap mahasiswa menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

Hanya dengan kemauan kuat manifestasi mimpi itu menjadi kenyataan, kenyataan perubahan yang akan membuat predikat mahasiswa tersebut menjadi lebih mulia dihadapan Allah, Amin.

Ketua PK IMM STKIP Muhammadiyah Bogor

Ridlo Abdillah

Posted in Uncategorized | Leave a comment